Nasional

Para Calon Pemimpin Harus Paham dan Mengenal Karakteristik Psikologis Masyarakat Untuk Ciptakan Pilkada yang Damai

Bandung, (SindikasiIndonesia.id) – Tak lama lagi masyarakat Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi pilkada serentak di seluruh Provinsi , Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Sejumlah tahapan telah berlangsung sesuai jadwal yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum ( KPU) RI.

Pengamat sosial dari Provinsi Jawa Barat, Badru Yaman mengingatkan bahwa apapun hasilnya nanti, menang dan kalah dalam sebuah kontestasi, kita haruslah bersikap dewasa untuk bisa menghadapi segala kemungkinan tersebut.

“Saya melihat pilkada ini harus disikapi masyarakat secara dewasa. Pada prinsipnya masyarakat harus memilih dengan kesadaran bahwa momen pilkada ini untuk memajukan daerah, ” jelasnya.

Berkaitan dengan proses pendewasaan, masyarakat harus melek dan jangan terbawa arus polarisasi.

“Masyarakat harus diedukasi, siapapun yang menang di pilkada serentak harus dihormati, dan dipilih masyarakat, ” paparnya.

Polarisasi di masyarakat harus dihindari melalui black campaign, hate speech dan berita hoax.

“Intinya mari kita berpolitik dengan gembira, masyarakat harus belajar dari Pilpres 2014, 2019, dan 2024. Karena jika terbawa arus polarisasi itu menormalkan nya lama, ” jelasnya.

Badru berharap, hasil pilkada serentak di seluruh Indonesia bisa menghasilkan pemimpin daerah, tanpa mengorbankan masyarakat.

Akademisi muda dari Universitas Pasundan, Almadina Rakhmaniar yang merupak Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unpas mengungkapkan untuk menciptakan pesta demokrasi yang damai dan lancar, maka pemerintah harus terus memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.

“Hal ini penting, karena menjadi salah satu cara terbaik, dimana masyarakat dapat memahami tentang pentingnya Pemilu yang damai dan beradab, ” jelasnya, Sabtu 18 Mei 2024.

Dijelaskan Almadina, dari sudut pandang psikologi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi pemilihan kepala daerah.

“Pendidikan politik harus diberikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilu yang damai & beradab,” jelasnya.

Seperti soal toleransi misalnya, Almadina menilai bahwa toleransi menjadi edukasi yang penting bagi masyarakat.

“Dengan belajar toleransi, masyarakat bisa menghargai perbedaan, dan menghargai proses demokrasi untuk membantu mengurangi konflik saat pilkada serentak, ” paparnya.

Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, bahwa tak hanya masyarakat yang memikul beban penting dalam menciptakan demokrasi yang damai, namun para tokoh dan calon pemimpin juga memikul tanggungjawab yang sama dalam menciptakan situasi yang kondusif.

“Seyogyanya para kandidat juga fokus pada kampanye positif yang menyoroti visi, misi, dan rencana kerja mereka, serta menghindari kampanye yang memicu perpecahan dan konflik antarpendukung; diperlukan juga forum dialog antara para kandidat agar dapat mengurangi ketegangan dan memperkuat komitmen untuk menjaga iklim pemilu yang kondusif,” papar Almadina.

Ditambahkannya, bahwa salah satu bentuk nyata agar meminimalisir terjadinya konflik di masyarakat meski pilihan politik berbeda, yakni dengan cara memahami karakteristik psikologis masyarakat di setiap daerahnya.

“Para kontestan calon pemimpin ini harus memiliki strategi pengelolaan stres, agar eskalasi emosi tak terjadi, ” terangnya.

Saat Pilkada dimulai, para kandidat juga sebaiknya memahami karakteristik psikologis masyarakat di daerah mereka, memahami kekhawatiran, aspirasi, dan nilai-nilai masyarakat.

“Sebagai masyarakat, perlu juga memahami bahwa pemilu adalah proses demokrasi yang sifatnya sementara. Bahwa perbedaan pilihan menjadi hal yang lumrah dan bukan alasan untuk memecah belah masyarakat. Pemilu menjadi momen penting dan bagian dalam demokrasi, dibutuhkan kerjasama semua pihak, agar dapat menciptakan iklim pemilu yang damai dan menghormati perbedaan pendapat, ” pungkasnya.

Related Articles

Back to top button